Berapa Seharusnya Gaji Programmer di Indonesia di Masa Depan?
1337news – Berapa Seharusnya Gaji Programmer di Indonesia di Masa Depan? – Ada yang
mengena di Indonesia Developer Summit 2017. Ketika Galvin Widjaja tampil
di panggung, saya iseng menggali informasi tentang berapa standar gaji
programmer di Singapura. Galvin adalah founder dari Lauretta.io, sebuah
startup Artificial Intelligence (AI) berbasis Singapura. Sebagaimana
kata Galvin kemarin, fenomena AI telah mengeliminasi low level job, dan
menggantikannya dengan medium level jobs, maka saya merasa kalau Galvin
adalah narasumber yang paling cocok menjawab pertanyaan ini.
![]() |
Programmer di Indonesia |
“Tahukah
kamu? studi terbaru Deloitte di UK menemukan kalau 800 ribu pekerjaan
taraf rendah telah tereliminasi sebagai dampak dari munculnya AI dan
teknologi otomasi lainnya. Akan tetapi, 3,5 juta pekerjaan baru kemudian
muncul seiring dengan itu. Dan rata-rata pekerjaan tersebut membayar 13
ribu dolar lebih tinggi per tahunnya. (dikutip dari Venture Beat)”
Jadi, berapa seharusnya programmer di Indonesia menghargai diri?
Dan secara
mengejutkan, Galvin menyebut kalau gaji programmer di Singapura berada
di angka yang fantastis, berkisar antara 10 juta rupiah untuk entry
level, dan 80 juta rupiah untuk medium level ke atas.
Tapi satu hal yang perlu kita
garisbawahi: biaya hidup di Singapura sangat mahal, yang mana kalau
mengikuti hitungan kasar, bisa berkisar antara 8-21 juta rupiah sebulan
(dikutip dari Hot Course Indonesia).
Numbeo juga pernah mempublikasikan
satu hasil riset yang bisa menyokong pernyataan ini. Mereka menyusun
daftar indeks biaya hidup global dari harga barang-barang konsumtif,
penyewaan apartemen, harga barang-barang grosir, tarif makanan di
restoran, dan daya beli lokal terhadap harga semua komoditi itu di New
York.
Data yang dikumpulkan dari 2013
hingga 2015 kemudian menempatkan Singapura dengan indeks 87,83 sebagai
negara dengan biaya hidup paling mahal di Asia Tenggara. Posisi kedua,
Brunei, terpaut jauh di angka 54,48. Maka, kita bisa mengartikan kalau
biaya hidup di Singapura lebih mendekati ke New York yang ditetapkan
sebagai kota pedoman riset di indeks 100 daripada di negara Asia
Tenggara lain.
Lalu Indonesia? Tiada sampai
setengahnya, yakni di angka 39,35, yang mana juga menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan biaya hidup nomor 12 paling murah di dunia
(dikutip dari Kompas Properti).
global, maka hal ini sangat penting. Bukan rahasia umum lagi jika
programmer India bahkan rela banting harga, karena negara dengan biaya
hidup terendah memang ditempati oleh India dengan indeks 26,27. Jauh dan
jauh lebih murah lagi daripada Indonesia.
Negara kita sangat luas. Biaya hidup
di satu kota bisa jadi timpang dengan kota lain. Survei tiap 5 tahun
sekali dengan sebutan Survei Biaya Hidup terhadap 82 kota pada tahun
2012 menemukan kalau Jakarta merupakan kota dengan biaya hidup
tertinggi, yakni Rp 7.500.726 per bulan di mana biaya hidup terendahnya
disematkan pada Banyuwangi dengan angka Rp 3.029.367 per bulan. Secara
nasional, rata-rata biaya hidup adalah sebesar Rp 5.580.037 per bulan
(dikutip dari JPNN).
Sementara mengutip Abraham Maslow,
pemuasan berbagai kebutuhan manusia didorong oleh dua kekuatan, yakni
motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi perkembangan
(growth motivation).
Motivasi kekurangan bertujuan untuk
mengatasi masalah ketegangan manusia karena berbagai kekurangan yang
ada. Artinya, pekerjaan apapun selama mampu menghasilkan lebih banyak
dari standar bawah tempat kita tinggal sudah cukup untuk mengentaskan
kita dari motivasi kekurangan. Tapi masalahnya, kita juga memiliki
motivasi pengembangan yang didasarkan atas kapasitas setiap manusia
untuk tumbuh dan berkembang.
Maka kemudian muncullah aspek-aspek
yang menuntut kita untuk menghasilkan lebih banyak. Apalagi programmer
adalah sebuah profesi yang menitikberatkan pada skill. Semakin tinggi
mereka dihargai, maka semakin fokuslah mereka mengasah skill untuk karir
mereka.
Tapi masalahnya adalah, profesi
sebagai programmer di Indonesia disertai dengan kompetisi yang keras.
Berdasarkan data dari Aptikom, ada sekitar 500.000 mahasiswa D1 hingga
S3 yang sedang aktif belajar di lebih dari 850 Perguruan Tinggi di
Indonesia di bawah naungan sekitar 1.500 program studi Kampus
Informatika dan Komputer di seluruh Indonesia, dengan jumlah lulusan
sekitar 40.000 hingga 50.000 alumni per tahunnya (dikutip dari
Codepolitan).
Artinya apa? Jika kamu adalah fresh
grad, tanpa portofolio, dan baru saja menekuni pemrograman sebagai
karir, maka jadilah realistis. Mulailah bekerja sebagai programmer
dengan mindset untuk meningkatkan nilai. Empat tahun kemudian, kamu bisa
mulai memasang standar. Kenapa empat tahun?
Nah, Dropsuite (laman web
dropsuite.com), salah satu exhibitor di Indonesia Developer Summit 2017
bisa jadi studi kasus kita kali ini.
Mereka membongkar kalau mereka
bersedia menggaji 14-20 juta dengan penawaran berupa potensi kenaikan
gaji sesuai dengan performa yang ditunjukkan, demi mengakuisisi
programmer yang telah memiliki pengalaman bekerja selama empat tahun.
Dan sampai sekarang, tawaran itu masih terbuka. Kunjungi saja halaman
karir Dropsuite jika kamu berminat.
Selain itu, Dropsuite secara
spesifik menyaratkan pengetahuan yang mendalam terhadap bahasa
pemrograman Ruby karena stack teknologi yang digunakan adalah Ruby.
Artinya, untuk mencapai taraf senior programmer itu perlu adanya fokus.
Jack-of-all trade atau berupaya
menjadi tuan serba bisa seringkali menghambat upaya untuk mencapai
kesana. Atau boleh saja jadi serba bisa, tapi lebih baik jika ada satu
bahasa yang jadi keunggulan kita. Spesialisasi seperti ini, meski akan
mengecilkan niche kita, tapi juga sekaligus memisahkan kita dari
kompetisi lainnya. Ingat, setiap tahun ada 40.000 hingga 50.000 lulusan
IT dengan harapan dan keinginan besar untuk sukses di pemrograman.
Di beberapa tahun belakangan, di sekelilingmu mungkin mulai bermunculan
co-working space yang diisi penuh oleh para ekspatriat. Coba perhatikan
sejenak.
depan laptop, sesekali menyeruput satu cup kopi yang tidak habis-habis
meski sudah dipesan sedari pagi, kemudian sibuk kembali ke layar laptop
mereka. Jika benar, maka mereka bisa jadi adalah digital nomads.
Bayangkan rasanya menerima gaji dengan standar New York, tapi hidup di
negara dengan standar Indonesia.
Hampir 95% dari member yang ada di
Hubud Bali, sebuah co-working space di Bali, terdiri dari para expat
yang sebagian besar adalah digital nomads (dikutip dari situs Yohan
Totting). Digital nomads, atau digital nomaden adalah istilah bagi
orang-orang yang tidak menetap di satu tempat untuk bekerja, mereka bisa
traveling dan bekerja pada saat yang sama dengan mengandalkan teknologi
digital terutama internet.
Kebanyakan adalah pekerja kreatif
yang memang tidak terlalu membutuhkan kehadiran fisik di tempat kerja
seperti developer, designer, writer, dan online marketer. Mereka
biasanya melakukan semua pekerjaan di depan komputer dan cukup
menggunakan internet untuk berkomunikasi dengan team atau client.
Dan kalau bicara soal kerja remote,
maka Upwork adalah platform yang seringkali jadi rujukan bagi para
developer nomads. Rata-rata proyek di Upwork berharga 1,7 miliar rupiah
pertahun, dengan range antara 680 juta sampai 2,8 miliar rupiah (dikutip
dari Paysa).
Sebesar apapun angka ini nampaknya,
tapi platform seperti ini — seperti halnya pasar bebas, adalah tempat
yang sangat kompetitif. Bisa saja kalian akan bersaing dengan programmer
India yang menetapkan tarif minimal $3 perjam atau 7,5 juta rupiah
perbulan, yang mana meskipun terbilang jauh sangat rendah daripada gaji
standar di Amerika Serikat, ia terbilang sebagai gaji rata-rata di
beberapa negara, termasuk Indonesia.
Hanya skill yang bisa menolong programmer dari kerasnya kompetisi. Jadi, selamat !!